Kebebasan Pers Pada Masa Orde Baru dan Masa Pasca-Reformasi #TintaBarikara
Berikut adalah sebuah cerita pendek (cerpen) yang terinspirasi dari “Sajak Mata-Mata” karangan W.S Rendra.
“MATA”
‘Kami hanya meminta agar kami didengarkan. Tidak. Apa yang kau katakan sebagai kebebasan bukanlah suatu kemerdekaan bagi kami, melainkan suatu keterbatasan.’
Sudah hampir sepuluh tahun hal ini telah berjalan. Orang-orang sudah mulai berbisik, namun hanya sedikit yang berani bersuara. Mereka takut. Takut akan konsekuensi yang akan diterima bila ketahuan bersuara. Tak jarang orang-orang ini hanya saling bertukar pandang. Seakan-akan mereka dapat menerima pesan secara telepati dan mengirimkannya kepada satu sama lain. Namun sayang, tatapan-tatapan mata dan pesan-pesan itu tidak akan pernah tersampaikan maksudnya.
Mata. Selalu Mata yang menjadi bulan-bulanan atasan. Atasan tak pernah lelah untuk mencari sepasang Mata, mencopotnya, dan menutupnya menggunakan kain merah-putih. Dengan embel-embel ‘demokrasi’, Mata rakyat diperdaya dan digantikan menggunakan sepasang Mata baru buatan atasan itu sendiri.
“Kebebasan berpolitik harus dibatasi. Demi mengatasi kemiskinan, hak asasi harus dikurangi,” kata Atasan.
“Lantas apa guna dasar negara kita, Pak? Untuk hiasankah?”
“Tempat kita memang menganut paham demokrasi. Namun, sebaiknya seorang Mata tidak usah ikut campur. Seorang Mata harus menuruti kata Atasan.”
“Lantas mengapa disebut demokrasi, Pak? Untuk hiasankah?”
Lagi-lagi Mata rakyat yang disalahkan. Mata tersebut diikat di kursi lalu disiksa hingga Ia menyerah. Bila Mata menangkap ihwal yang ganjil dari atasan, Mata harus diam. Tidak bersuara.
“Ssssttt! Diam! Sudah kubilang kau untuk diam!” bentak seorang pemuda bertopi baret merah.
“Tetapi, Pak...”
“Cukup! Ini merupakan peringatan terakhir untukmu. Atasanku tidak akan bersabar hati lagi padamu! Camkan itu!”
“Tetapi, Pak...”
“Tidak ada tapi-tapi lagi! Mulai hari ini kau harus menuruti semua permintaan Atasan. Jangan menyeleweng sesukamu atau kau akan kuhabisi.”
“Tetapi yang kulakukan hanya menulis berita. Ini semua tidak sebanding dengan pembunuhan, Pak.”
“Sebaiknya bila kau masih ingin hidup, kau tutup itu matamu. Lain kali kau akan habis bila aku dengar namamu bikin onar lagi.”
Dan karena takut mati, Mata itu pun ditutup dengan kain merah-putih. “Demi kepentingan negara,” katanya. Mata itu dulunya bebas. Bebas melihat sana-sini. Bebas untuk bersuara dan menyatakan pendapatnya. Namun, Atasan mengetahui hal itu dan menutup matanya. Sungguh disayangkan, padahal Ia merupakan seorang Mata yang berbakat.
Atasan dari dulu memang tidak menyukai kritik. Ia benci diberitakan sana-sini. Benci bila dijadikan buah bibir oleh bawahannya. Namun, sebenci-bencinya atasan dengan sebuah berita, Atasan ingin bahwa citra yang dimilikinya baik di kalangan publik. Maka dari itu, Atasan menutup Mata rakyat dan menggantinya dengan Mata baru. Mata buatannya sendiri. Mata yang bisa Ia kontrol seenak jidat.
Sejatinya, Mata rakyat dan Mata milik Atasan memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memanifestasikan informasi kepada masyarakat. Informasi-informasi ini dipercaya dan memang telah terbukti untuk dapat membentuk sebuah opini publik terhadap isu-isu tertentu. Tentunya, Atasan tidak ingin opini publik terhadapnya menjadi buruk. Guna untuk mempertahankan kekuasaan, Mata rakyat pun satu-satu dibabatnya habis. Sekali lagi, “Untuk kepentingan negara,” katanya.
Lantas, apa inti dari semua ini? Maka semua Mata yang telah ditutup akan menjawab:
“Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi, terjadi tanpa kutahu telah terjadi. Aku tak tahu. Kamu tak tahu. Tak ada yang tahu.”
Mata-mata rakyat itu telah dicopot dan diganti dengan Mata resmi buatan Atasan. Segala hal yang ditulis Mata, akan disortir dan disaring melalui Departemen Penerangan. Sekali lagi aku bertanya. Lantas, apa inti dari semua ini? Maka semua Mata yang telah dicopot akan membuka penutup matanya dan berkata:
“Untuk menyenangkan atasan, Pak. Tugas kami hanya menyenangkan Bapak. Asal Bapak senang, kami pun juga akan ikut tersenyum dan tertawa bersama Bapak. Dan apabila Bapak bersedih, kami juga akan ikut menangis,” ujar Mata-mata yang takut mati.
Mata-mata tersebut memilih untuk tidak menahu mengenai kebenaran. Mereka lebih memilih untuk menaati Atasan. Bukan perihal loyalitas yang menyebabkan para Mata mengabdi, melainkan karena intimidasi dan gertakan. Lebih baik bagi seorang Mata untuk berpura-pura tidak tahu daripada memberontak dan meregang nyawa.
Namun, Akhsan bukanlah seorang Mata yang pengecut. Lagi pula Ia juga merupakan seorang Mata yang berbakat. Sama dengan Mata-mata lainnya, selama ini Akhsan hanya berpura-pura menutup matanya. Menunggu jatuh tempo Atasan untuk lengser dengan terus berbisik. Berbisik dalam kediaman, hanya ditemani dengan tatapan-tatapan mata kosong. Akan tetapi, Akhsan sadar bahwa keterlenaan untuk menutup mata akan membuat kebenaran semakin kabur.
“Masyarakat juga harus disadarkan,” pikirnya.
Semenjak itu Akhsan mulai mengawasi semua gerak-gerik Atasan. Ia mencari-cari kesalahan milik atasan. Ia pun menemukan bukti yang mendukung bahwa atasan tidak menerapkan demokrasi Pancasila dengan baik, padahal demokrasi Pancasila merupakan suatu hal yang paling atasan agung-agungkan. Sungguh ironis mengingat bahwa atasan menganggap sistem yang dirancangnya itu lebih baik dari sistem demokrasi yang terdahulu.
Setelah mendapatkan bukti-bukti konkret, Akhsan pun mulai menulis. Ia menulis bagaimana pengalamannya menjadi seorang Mata yang tidak diberikan kebebasan. Mengenai bagaimana Ia memberontak dan disiksa. Serta mengenai Mata-mata buatan atasan yang tidak benar-benar menjadi Mata rakyat. Ia pun mencurahkan seluruh isi hati dan angannya ke dalam tulisan tersebut.
Akhsan mencetak tulisannya, masing-masing ke lembaran-lembaran kertas. Lalu, kertas-kertas tersebut dibagikannya kepada orang-orang. Tentunya ini bukanlah suatu langkah cerdas untuk menghindari campur tangan dari Atasan. Namun, hal ini merupakan satu-satunya jalan bagi Akhsan agar orang awam dapat mengetahui kebenarannya. Bagi Akhsan, kebenaran akan Mata lebih berharga daripada hidupnya sendiri.
Ia memiliki mimpi bahwa Mata-mata akan diberikan independensi. Kemerdekaan dalam menyatakan pendapat dan dalam meliput berita. Bahwa Mata-mata buatan akan membuka kain penutupnya dan menjadi visioner aktualitas. Itulah aspirasi yang dimiliki oleh seorang Mata yang sangat mencintai negaranya. Tanah airnya di mana Ia dilahirkan. Seorang Mata yang dianggap sebagai pahlawan bagi Mata-mata lainnya. Seorang Mata yang tidak takut mati.
Tentunya, Akhsan telah menanti hari itu. Hari dimana seorang pemuda gagah bertopi beret merah akan menunggunya di halaman belakang rumahnya. Menanti tagihannya bila Ia berbuat onar.
Lagi-lagi seorang Mata yang menjadi korbannya. Seorang Mata yang menjadi mata bagi rakyat dan bagi kebenaran. Namun, kali ini bukanlah Mata rakyat biasa. Selebaran-selebaran kertas yang telah tersebar hampir ke seluruh daerah menandakan bahwa kematian seorang Mata tidaklah sia-sia.
Beribu-ribu Mata-mata bersorak-sorai menyerukan kemenangan. Sedang mengawasi seorang yang sedang meminum teh di pekarangan istana mewahnya. Semua Mata fokus pada selembar kertas yang digenggam di tangannya.
“Sial,” kata Bapak.
(fin.)
Cerpen “Mata” merupakan suatu bentuk pelukisan aktualitas mengenai kondisi pers pada zaman Orde Baru. Pada masa itu kebebasan berpendapat sangat dilimitasi. Media massa atau pers hanyalah merupakan formalitas belaka untuk mempertahankan kekuasaan rezim. Segala bentuk pola pikir, kritik, termasuk bukti-bukti empiris dan konkret yang menyangkut hal-hal negatif mengenai rezim dilarang. Pers diawasi dengan ketat oleh Departemen Penerangan yang akhirnya menyebabkan pemerintah mendapatkan akses penuh untuk memonopoli kekuasaan. Segala konten dibuat sedemikian rupa agar selaras dengan agenda setting perpolitikan Orde Baru. Sistem demokrasi yang katanya dianut pada masa itu pun dipertanyakan relevansinya. Hal ini dibuktikan dengan pemberlakuan Surat Izin Untuk Penerbitan Pers (SIUPP) yang tidak mendukung keberadaan pers selama periode Orde Baru berlangsung.
Peristiwa 21 Juni 1994 pun menjadi saksi buta kezaliman Soeharto dan antek-anteknya kala itu. Beberapa media massa seperti Tempo, Editor, dan Detik dicabut surat izinnya setelah melakukan investigasi mengenai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat negara. Sudah tidak asing terdengar di telinga bahwa para pemberontak Orba banyak yang dihilangkan eksistensinya. Beruntung bila masih bisa ditemukan, karena pada kenyataannya masih banyak kasus-kasus orang yang hilang secara ‘misterius’ dan belum terselesaikan hingga kini.
Pasca reformasi, pers selayaknya kuda pacu yang hilang kendali. Peluang untuk kebebasan berpendapat dibuka lebar-lebar dan digunakan dengan impulsif dan serta-merta. Segenap uneg-uneg yang tersimpan pun dikeluarkan dengan bengis. Dikeluarkannya kebijakan Permenpen no. 1/per/Menpen/1998 tentang Ketentuan-Ketentuan SIUPP menjadi batu loncatan kebebasan berpendapat di Indonesia kala itu. Puncaknya adalah pengesahan UU Pers no. 40 tahun 1999 yang mendikte bahwa segala kebijakan peninggalan Orba yang menghambat ruang gerak pers dihapuskan. Semenjak saat itu, pers dibebaskan untuk menulis kritik tanpa harus takut akan konsekuensi pembungkaman ataupun pembredelan. Kebebasan untuk berpendapat inilah yang akhirnya dapat mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara yang menjunjung sistem demokrasi. Bukti konkret dari aktualisasi demokrasi pasca reformasi ditandai dengan munculnya berbagai lembaga jurnalistik yang independen. Salah satunya, yang paling prominen saat ini, adalah tim jurnalis Mata Najwa.
Mata Najwa merupakan talkshow yang dibawakan oleh seorang jurnalis senior, Najwa Shihab. Najwa, atau yang lebih akrab disapa Mbak Nana, mampu mengemas isu-isu politik dengan cakap disertai pembawaan kalem nan khas, namun jujur dan berani. Terdapat satu Episode berjudul “Siapa Rindu Soeharto” yang sangat menarik, karena bila siaran tersebut ditayangkan pada saat Orde Baru, mungkin Mata Najwa akan memiliki nasib yang sama dengan Tempo, Editor, dan Detik. Terlebih Najwa pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berani kepada Tommy Soeharto, yang notabene merupakan buah hati dari pimpinan Orde Baru kala itu.
Keberhasilan Mbak Nana dan tim dalam meliput berita yang dianggap riskan tersebut menandakan bahwa kebebasan pers di Indonesia sudah progresif dan lebih liberal dibandingkan dengan masa Orde Baru.